Indonesia memiliki banyak penduduk, dari dulu Indonesia adalah negara terbanyak penduduknya. Berada di urutan ke 4, setelah China, India, dan Amerika. Indonesia juga memiliki wilayah yang luas, Italia saja, negara yang maju sepakbolanya luasnya dua kali pulau Jawa. Itu baru pulau Jawa. Belum empat pulau besar Indonesia yang lain, belum Sumatera, belum Kalimantan, belum Sulawesi, belum Papua, belum ribuan pulau kecil yang lainnya. Indonesia yang negara banyak pulaunya, terbanyak jenis flora dan faunanya.
Dalam sepak bola, Indonesia harusnya ada di urutan teratas untuk peringkat fifa, namun nyatanya lolos piala dunia saja masih sangat susah. Di level Asean saja bukan yang teratas. Indonesia juga harusnya menjadi negara paling banyak menghasilkan beras karena keluasan wilayahnya, tapi nyatanya hanya menjadi impian untuk menjadi negara swasembada pangan. Di laut, hasilnya yang melimpah hanya dinikmati negara lain saja.
Tapi perlu kamu ketahui, Indonesia itu kaya. Itu saja. Tidak perlu bertanya kembali bertanya kenapa tidak kaya-kaya. Hutang ke bank dunia masih saja menumpuk. Tingkat kemiskinan masih saja bahan kampanye tiap pileg dan pilpres. Kesejahteraan hanya impian di ruang-ruang rapat wakil rakyat, entah itu di senayan maupun di warung-warung kopi.
Masa depan tidak hanya untuk disesalkan. Masa depan juga bukan saatnya untuk dikenang. Carut marutnya dunia dan kemunduran peradaban 10 sampai 20 tahun terakhir apalagi di Indonesia terletak dari pembangun peradaban itu. Jika ditanya, siapa yang mengajarimu menulis, siapa yang mengajarimu membaca maka otomatis, orang-orang akan menjawab dengan lantang. Guruku!
Kebedaraan guru memiliki peran sangat sentral untuk saat kemunduran negara, utamanya untuk akhlak saat ini. Untuk menjadi orang penting dan berpengaruh di bagian masyarakat tidak terlepas dari peran dari seorang guru. Kemegahan gempita peradaban islam yang tidak hilang hingga saat ini kita dapat belajar dari peran seorang guru sang Rasulullah, Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang Ummi, buta huruf. Namun ingatkah kita ayat pertama turun? Sampai sejarah turunnya hingga pelukan dan selimutan istri tercinta, Khadijah tehapalkan. Ayatnya juga harus dihafalkan. Iqro’, bacalah. Itulah pelejitnya.
Dengan ayat bacalah, sahabat Rasulullah menjadi gila ilmu. Mereka kemudian memanfaatkan semua pengetahuannya yang dimiliki untuk kemajuan islam. Ada Zaid bin Tsabit yang tertolak ikut perang sebab masih kecil kemudian memanfaatkan kecerdasaanya dengan menghafalkan dan memamerkan hafalannya ditemani ibundanya tercinta dihadapan sang nabi. Karena membuat sang Rasul terkesima dengan kecerdasan sang Zaid kecil. Diangkatlah dia menjadi sektretaris saat usia masih belia. Tugas tulis menulispun untuk bersurat dikerjakan dengan baik, surat ke kaum Yahudi yang menggunakan Bahasa Ibrani paling dominan dikerjakannya. Lambat laun islam semakin mendunia saat itu, Zaid yang masih kecilpun dengan mudah mempelajari dan menguasai bahasa-bahasa dunia untuk kemajuan islam. Itu baru dari bidang menerjemahkan bahasa asing.
Namun kita tidak lagi ingin mengisahkan kisah Zaid dan takjub dengan kecerdasannya, kita lagi ingin dahsyatnya Sang Guru ikut menular ke guru-guru yang lain. Guru yang seharusnya melahirkan generasi cerdas kini terasa tidak ada lagi, guru terasa kurang cerdas dengan lebih banyak dan merebaknya pelatihan guru. Mulai dari pelatihan manajemen kelas sampai pelatihan guru kreatif dengan berbagai macam variasi sampai pelatihan menyusun RPP dari hal teknis sampai membuat kelas menarikpun berjamuran. Maka pentingnya guru yang mampu berpikir luas, dari satu kata namun mampu mengembangkan sampai berjuta aksi. Dari iqro, sampai karya fenomenal. Ada karya rumus dasar matematika, pelajaran sosial masyarakat, ilmu kedokteran, astronomi, hingga penjelajahan keliling dunia, juga ada yang menempatkan diri ilmu dirgantara. Tidak ada yang tersisa untuk menjadi ahli di semua bidang untuk disetiap zaman kehidupan.
Berbaik sangka kepada pemerintah yang mengadakan acara pelatihan ini itu, berusaha berteman pemikiran kepada setiap institusi, lembaga yang ingin meningkatkan potensi guru itu penting. Sehingga dunia pendidikan menjadi bergairah karena hasil peradaban dan budaya yang memuaskan. Siswa tidak sekedar asal sekolah, orang tua tidak asal menitipkan anaknya. Karena guru-guru kualitasnya tidak sekedar pelampiasan pencapaian akreditasi, ataupun sensasi menjadi supervisor pengawas sekolah. Guru-guru menghasilkan karya, bukan karya buku untuk asal peningkatan golongan atapun agar dikenal seperti harimau yang meninggalkan belang. Tapi karyanya monumental, karyanya untuk sebuah peradaban. Bermimpi untuk melahirkan generasi yang lebih baik dari generasinya.
Tidak mudah jika cinta dengan ilmu pengetahuan itu kurang, apalagi melahirkan cinta. Tugas guru dengan cita-cita yang tinggi itu memerlukan cinta. Menularkan cinta kepada anak didiknya menjadi tidak masuk akal jika dirinya tidak juga cinta dengan apa yang diajarkan. Karena pentingnya guru sangat dinanti. Meningkatkan kualitas harus terus ada, tidak hanya sekedar ilmu untuk ditransfer namun juga untuk mudah diaplikasikan di masa depannya.
Mengenal kualitas diri, skil, dan kemampuan komunikasi jadi penting. Guru jika dilirik di KBBI memiliki makna orang yang pekerjaanya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Dalam definisi lebih luas, guru diartikan orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap guru. Maka untuk mengajar perlu ada sesuatu hal yang baru untuk dibagi. Apa jadinya jika guru tidak tahu apa kualitas yang dimiliki, maka kualitas anak didik menjadi apa adanya. Hanya sebagai profesi yang terjalani namun tidak menjadi bagian dari pembagi sesuatu hal yang baru karena kualitasnya tidak berarti. Skill, keterampilan untuk menjadi guru yang zaman tiap berbeda dengan gaya belajar harus selalu disesuaikan dan ditingkatkan. Karena guru tidak hanya untuk menjadi perenung zaman namun untuk mengajak menerungi zaman bersama didiknya. Kemampuan komunikasi tidak hanya sekedar dari lisan, bahasa tubuh, tulisan dan tatapan akan menjadi sangat berarti untuk perkembangan anak didiknya yang dipersiapkan mendunia.
Indonesia butuh guru yang cita-citanya menjulang tinggi tanpa batas. Memiliki tekad kuat untuk mengubah zaman, mengembalikan pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan. Tidak sedihkah engkau wahai guru jika murid yang telah kau ajar tapi saat jadi pejabat hanya pintar mengambil uang negara. Tidak marahkah engkau guru, jika hitungan yang kau ajarkan di kelas-kelas namun hanya sebagai penghias angka-angka manipulative untuk meningkatkan popularitas para pejabat. Tidak juga kau heran ilmu pengetahuan hanya sebagai bahan perlombaan untuk meningkatkan angka-angka di rekening-rekening mereka tanpa terasa berarti ilmunya.
Ilmu pengetahuan menjadi akan berguna jika digunakan untuk kemaslahatan orang banyak. Tanpa guru, perkembangan teknologi hanya begitu-begitu saja, bahkan bisa akan menjadi kurang bermanfaat. Semangat untuk menambah pengetahuan yang bertujuan bagi kemaslahatan ummat manusia harus terus membara. Dari gurulah yang mampu melahirkan semangat itu, karena guru tahu persis profesinya untuk siapa.
Membangun akhlak dari pemilik ilmu pengetahuan akan menjadi tugas yang menjadi sangat mulia. Maka menjadi guru yang bermimpi tinggi untuk ummatnya, yang bertugas untuk kemajuan negaranya tidak akan disia-siakanya. Bukan hanya sekedar berharap mendapat materi yang tidak akan ada habisnya terkejar. Kembali kepada iqro’, bacalah. Jadikan anak didikmu menjadi gila ilmu karenamu, karena merekalah yang akan melanjutkan peradaban. Keberadaan ilmu yang dipelajari karena banyak belajar, banyak belajar karena banyak membaca. Maka optimislah di masa akan datang, Indonesia bukan hanya kaya di angan-angan semata tapi Indonesia kaya dari berbagai kehidupan nyata. Itu semua karena guru yang mengerti pentingnya keberadan dirinya, dari gurulah yang mengubah segalanya.